LETAK KOTA MAGELANG
Secara geografis letak kota Magelang berada di
tengah-tengah pulau jawa. Selain itu terdapat gunung tidar yang sering dikenal
sebagai pakunya pulau jawa. Kota
Magelang memiliki posisi yang strategis, karena berada di jalur utama
transportasi Semarang-Magelang-Yogyakarta, Magelang-Purworejo serta Magelang-Temanggung.
Magelang berada di 75 km sebelah selatan Semarang dan 43 km sebelah utara
Yogjakarta. Di samping itu sebagai jalur wisata antara Yogjakarta-Borobudur-dataran
tinggi dieng-ketep pass dan kopeng. Kota magelang juga terdapat beberapa tempat
wisata seperti taman Kyai langgeng, Taman badaan, alun-alun kota dan lain-lain.
SEJARAH BERDIRINYA KOTA MAGELANG
Menurut sumber seperti cerita rakyat, dongeng maupun cerita
legenda ada yang berpendapat bahwa nama Magelang itu berasal dari kisah datangnya
orang Keling (Kalingga) ke jawa yang mengenakan hiasan gelang di hidungnya.
Kata gelang mendapat awalan “ma” yang menyatakan kata kerja memakai atau
menggunakan, maka berarti “memakai gelang”. Jadi Magelang berarti daerah yang
didatangi orang-orang yang menggunakan atau memakai gelang.
Namun ada yang berpendapat bahwa Magelang itu berasal dari kisah
dikepungnya Kyai Sepanjang oleh prajurit Mataram secara “temu gelang” atau
rapat berbentuk lingkaran. Ada pula yang mengaitkan nama Magelang itu dengan
kondisi geografis daerah Kedu “cumlorot” yang ternyata semakna dengan kata
gelang.
Hari jadi kota Magelang ditetapkan berdasarkan
peraturan daerah kota Magelang nomor 6 tahun 1989, bahwa tanggal 11 April 907 masehi
merupakan hari jadi kota Magelang. Penetapan ini merupakan tindak lanjut dari
seminar dan diskusi yang dilaksanakan oleh panitia peneliti hari jadi kota
Magelang bekerjasama dengan Universitas Tidar Magelang dengan dibantu pakar
sejarah dan arkeologi Universitas Gajah Mada, Drs.MM. Soekarto Kartoatmodjo,
dengan dilengkapi berbagai penelitian di museum nasional maupun Museum Radya
Pustaka-Surakarta. Ini menjadikan Magelang sebagai kota tertua kedua setelah
Palembang.
Berdasarkan
sejarah, Dalam prasasti Mantyasih berisi antara
lain, penyebutan nama Raja Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka
829 Çaka bulan Çaitra tanggal 11 Paro - Gelap Paringkelan Tungle, pasaran
Umanis hari Senais Sçara atau Sabtu, dengan kata lain hari Sabtu Legi tanggal
11 April 907.
Dalam prasasti ini disebut pula
Desa Mantyasih mengandung arti beriman dalam cinta kasih desa tersebut kemudianberada di sebelah barat kota Magelang dengan
nama Meteseh di wilayah kecamatan Magelang Utara kota Magelang. oleh Sri
Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung, desa Mantyasih ditetapkan sebagai desa perdikan
atau daerah bebas pajak yang dipimpin oleh pejabat Patih. Juga disebut - sebut
gunung SUSUNDARA dan WUKIR SUMBING yang kini dikenal dengan gunung Sindoro dan
gunung Sumbing.
Daerah
perdikan ini dulu disebut Kebondalem, yang berarti kebun milik Raja, yaitu Sri
Sunan Pakubuwono dari Surakarta. Tanah yang membujur ke selatan dari kampung
Potrobangsan sampai kampung Bayeman sekarang, dulunya adalah kebun kopi,
rempah, buah-buahan dan sayur-sayuran termasuk bayam atau “bayem” dalam bahasa
Jawa. Sisa-sisa pernah adanya kebun itu masih dapat dilihat dari nama-nama tempat
seperti : Kebon dalem, yaitu sebuah kampung di kelurahan Potrobangsan, Botton
Kopen dahulu adalah kebun kopi, Kebon polo atau kebun pala, Kemiri kerep/Kemiri
rejo bekas kebun kemiri, Jambon bekas kebun jambu, Bayeman bekas kebun bayam,
Pucang sari bekas kebun pohon pucang, Kebon sari bekas kebun yang indah
ditanami bermacam-macam tumbuhan, Jambe sari kebun yang ditanami pohon
pinang/jambe, Karet bekas kebun pohon karet.
Ketika Inggris
menguasai Magelang pada abad ke-18, dijadikanlah kota ini sebagai pusat
pemerintah setingkat kabupaten dan diangkatlah Mas Ngabehi Danoekromo sebagai
bupati pertama dengan gelar Raden Tumenggung Danoeningrat. Bupati ini pulalah
yang kemudian merintis berdirinya kota Magelang dengan membuat alun-alun,
bangunan tempat tinggal bupati serta sebuah masjid dan gereja GPIB Jalan
Alun-alun Utara. Dalam perkembangan selanjutnya, dipilihlah Magelang sebagai
ibukota Karesidenan Kedu pada tahun 1818 karena letaknya yang startegis,
dilalui jalan raya yang menuju Yogyakarta.
Setelah pemerintah Inggris takluk oleh Belanda, kedudukan
Magelang semakin kuat. Oleh pemerintah Belanda, kota ini dijadikan pusat lalu
lintas perekonomian untuk kawasan Jawa Tengah bagian selatan sehingga mendorong
perkembangan kota. Selain karena letaknya yang strategis, udara Magelang juga
nyaman serta memiliki pemandangan indah, sehingga oleh Belanda kota ini dijadikan
kota Magelang Militer. Pemerintah Belanda terus melengkapi sarana dan prasarana
perkotaan. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota pada tahun 1918,
perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927, dan jalan-jalan arteri
diperkeras dan diaspal.
Begitulah Magelang, yang kemudian berkembang
menjadi kota selanjutnya menjadi ibukota Karesidenan Kedu dan juga
pernah menjadi ibukota kabupaten Magelang. Setelah masa kemerdekaan kota ini menjadi
Kotapraja dan kemudian Kotamadya dan di era Reformasi, sejalan dengan pemberian
otonomi seluas-luasnya kepada daerah, sebutan kota madya berganti menjadi kota.
i like this
BalasHapus